Senin, Agustus 01, 2011

Menjalin Cinta dengan yang Berbeda Keyakinan : "Sebuah Hubungan Tanpa Prospek..??"

Antara Cinta dan keyakinan. sebuah topik yang sudah lama ingin saya ambil untuk di bahas saat ini. Setelah maju mundur, yakin nggak yakin. Berbekal pengetahuan yang saya tahu dan sedikit browsing. (Sebelumnya maaf jika saya terlalu berani untuk mengambil topik ini). Maka pada akhirnya saya beranikan diri untuk mengangkat topik ini pada blog saya. Mungkin cenderung agak mendekati SARA. Namun saya tidak ada niat sedikitpun untuk seperti itu, ini hanyalah sebuah pemikiran dari diri sendiri dan secara global. Bukan dari salah satu sudut pandang.
Mungkin ada salah satu blogger yang nggak sengaja mampir dan tengah mengalami atau telah mengalaminya.
Seperti “terang dan gelap yang tak mungkin akan pernah bersatu” seperti itulah Cinta dalam perbedaan keyakinan.
Lalu apa yang di cari dari hubungan itu? Apakah benar suatu hubungan yang dibangun diatas pilar perbedaan keyakinan adalah sebuah hubungan yang tak memiliki prospek masa depan? Seperti yang kita tahu, tujuan dari hubungan sepasang kekasih adalah hidup bersama dalam ikatan pernikahan. Mengenai pernikahan beda agama, saya ingin memandang secara global, tidak dari sudut pandang suatu agama saja. Menurut suatu artikel yang pernah saya baca, ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu
1. meminta penetapan pengadilan
2. perkawinan dilakukan menurut agama masing-masing
3. penundukan sementara pada salah satu hukum agama
4. menikah di luar negeri.
Jadi sebenarnya cinta dalam perbedaan keyakinan memiliki prospek. Banyak cara yang bisa ditempuh. Banyak pasangan beda agama yang menikah dan sampai sekarang rumah tangga mereka baik-baik saja. Ada yang memilih untuk tetap pada agama dan keyakinan masing-masing, ada pula yang memilih untuk salah satu berpindah ke keyakinan pasangannya. Toh negara juga sebenarnya tak secara tegas melarang pernikahan beda agama. Larangan tersebut tidak datang dari negara melainkan dari agama. Sepanjang ada pengesahan agama, catatan sipil mencatat sebuah perkawinan akan mencatat sebuah pernikahan. Sepanjang tidak ada pengesahan agama, tidak mungkin catatan sipil mencatat sebuah perkawinan.
Oleh karenanya cara yang paling populer dilakukan adalah menikah menurut agama masing-masing dan penundukan sementara pada satu agama. Pastinya tak ada (atau mungkin sangat jarang) seseorang mau berpindah dari agama yang telah sekian lama dianutnya . Jika tak ada yang mau mengalah, maka jalan satu-satunya adalah menikah menurut agama masing-masing, menurut agama mempelai pria terlebih dulu, baru kemudian menurut agama mempelai wanita. Atau kalau tak ingin repot menikah 2 kali, jalan yang ditempuh adalah penundukan sementara pada satu agama. Mengapa sementara? Karena biasanya setelah menikah dengan tatacara satu agama, mereka kembali ke keyakinan semula. Yang penting sudah mendapat pengakuan negara, habis perkara.
Menurut saya tak sesederhana itu. Dari awal caranya saja, bukankan sadar atau tidak cara seperti itu adalah salah satu bentuk permainan terhadap agama. Sementara saja menganut ajaran suatu agama hanya demi pengakuan negara, lalu kembali ke keyakinan asal. Bukankah terlihat seperti kurang menghargai kesucian suatu agama, baik yang dianut maupun agama pasangannya. Lalu bagaimana nanti dalam kehidupan selanjutnya, dimana dituntut harus selalu bertoleransi menghargai keyakinan yang dianut pasangannya, setiap detik seumur hidupnya. Belum lagi tentang anak, yang dibingungkan dengan perbedaan diantara kedua orangtuanya, yang membuat anak juga bingung mengenai keyakinan yang harus dianutnya.
Kalau akhirnya salah satu ada yang mengalah, lalu mengikuti keyakinan pasangan, biasanya mengakibatkan adanya kerenggangan hubungan dengan keluarga. Seperti pada cerita saya diatas, saat teman saya melamar gadisnya, dimana sang ayah menyiratkan akan adanya pemutusan hubungan keluarga jika anaknya ikut keyakinan sang pria. Belum lagi menyangkut hubungan dengan Tuhannya. Suatu dilema memang, benar juga di satu sisi kalau dikatakan “Namanya juga sudah jodoh, jadi memang itu (baca : pindah agama) jalan yang harus ditempuh, kan jodoh Tuhan yang atur”. Betul memang, jodoh Tuhan yang atur. Tetapi apakah harus dengan mengorbankan agama dan kepercayaan yang selama ini dianut? Apakah dengan meninggalkan ajaran Tuhan yang selama ini amat dicintai, yang dipercayai telah memberikan jodohnya?
Selain itu, Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:
1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).


2. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].

3. Status anak. Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP].

4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif

Jadi menurut saya, hubungan berbeda agama bukannya tidak memiliki prospek, hanya terlalu rumit. Mengenai prospek, semua kemungkinan pasti ada, tinggal bagaimana cara yang ditempuh untuk mengupayakannya. Tetapi, terlalu besar pengorbanan yang harus diberikan demi cinta kepada manusia jika harus merelakan hilangnya cinta kepada Tuhan. Jadi lebih baik dari awal hubungan itu dihindari saja. Selagi belum terlanjur, apalagi kata orang cinta itu buta. Wihhh, susah deh. Jadi lebih baik semakin menambah cinta pada Tuhan, jadi takkan mudah kehilangan cinta pada Nya. Bagaimana menurut Anda?

6 komentar:

  1. Kalau soal yang ini secara tegas saya menolak. Apalagi kalau niatannya memang untuk serius menuju jenjang pernikahan. Karena pernikahan bagi saya bukan perkara bersatunya dua jasad, tetapi juga dua hati termasuk keyakinan.

    BalasHapus
  2. Alamendah : ya... keyakinan adalah sebuah pondasi,, kalo mempertahankan pondasi aja gag bisa bagaimana mau mempertahankan yg lainny..??

    marsudiyanto : monggo.. monggo...

    BalasHapus
  3. Maaf, sekedar ngetes doang.
    Boleh,kan?!

    BalasHapus
  4. Saya nggak punya pengalaman yang seperti ini. Tapi pernah nonton film Indonesi yang judulnya (kalo nggak salah) 3 hati 2 dunia 1 cinta. Contoh kasus yang sama.

    BalasHapus
  5. alamendah : boleeh

    masbro : yupps..
    selain itu ad film dokumenter judulny kl g sl cin(T)a. hampir sm dg film 3 hati , 2 dunia , 1 cinta

    BalasHapus

terima kasih atas kunjungannya...
mohon tinggalkan komentar ya....