Selasa, Oktober 18, 2011
Hiduplah seperti Matahari
Kedatangan Matahari begitu dinanti.
Pagi-pagi, sang ayam berkokok menyanyikan sebuah simfoni untuk menyambut pujaan dunia datang.
Seakan berkata “kawan-kawan sebentar lagi matahari akan datang, mari kita sambut dia”.
Apakah kedatangan kita dinanti oleh kawan-kawan hidup kita seperti matahari dinanti oleh dunia?
Ataukah kedatangan kita tidak diharapkan oleh kawan-kawan hidup kita.
Seperti mereka tidak mengharapkan kotoran menempel pada baju mereka.
Matahari Pagi Banyak Yang Merindukan.
Dan ketika, sang fajar ini mulai terlihat menyembul.
Terdengar jeritan kegembiraan.
Burung-burung bernyanyi, domba-domba tertawa, dedaunan semua berdiri seakan seorang kekasih telah tiba.
Apakah ketika kita datang, teman-teman dan keluarga kita merasa bahagia dengan kedatangan kita?
Ataukah mereka merasa ketakutan, tidak mengharapkan bahkan membenci kedatangan kita.
Matahari Begitu Berguna.
Ketika siang, terik matahari membakar dunia.
Cahayanya menghilangkan bau busuk dari bangkai.
Panasnya mengeringkan padi petani.
Panasnya pula yang menguapkan air laut petani garam.
Apakah kita menghilangkan keburukan orang lain dengan kebaikan.
Mengeringkan air mata orang-orang yang sedih.
Menguapkan kesusahan dari pundak-pundak orang yang membutuhkan?
Ataukah karena kita hidup, malah menimbulkan bau yang tidak sedap.
Bau keburukan, bau kekejian, bau kejahatan.
Atau kita hidup, selalu mengeringkan nurani, hingga tidak mau peduli dan memikirkan orang lain.
Atau kita hidup, selalu menguapkan kebaikan, sehingga tidak sedikitpun ada kebaikan pada diri kita?
Matahari Ditangisi Kepergiannya.
Ketika sang fajar kembali ke peraduannya, Tonggeret* memainkan simfoni senja terbaiknya, sebuah simfoni kesedihan.
Seakan pilu hati, tersayat-sayat ditinggal oleh sang kekasih.
Apakah ketika kita pergi meninggalkan dunia ini banyak yang menangisi?
Menangisi Karena rindu akan kebaikan kita.
Rindu akan kasih sayang yang telah meringankan beban hidup.
Rindu akan senyum kita yang menyejukkan.
Ataukah banyak yang bahagia ketika kita meninggal.
Bersorak karena biang kerok abadi telah hilang.
Bergembira karena si keji sudah mati.
Bernyanyi riang karena si tamak sudah pulang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
merinding baca tulisan ini.....
BalasHapushee tlisn ini kn gk mngandung unsur horror mas
BalasHapusbukan merinding bulukuduku tapi merinding hati..hehe
BalasHapus